Selasa, 20 April 2010

Rahasia Maya

Di sebuah ruang tamu di rumah sederhana telah ada beberapa orang. Aku duduk di atas lembaran karpet yang terbentang. Ustadz Amar mendampingiku. Sebuah prosesi sederhana akan dimulai. Berlangsung tertutup. Tak banyak orang yang tahu. Hanya Ustadz Amar, ayah dan ibu perempuan yang selangkah lagi akan menjadi istriku, Insya Allah.

Tak lama kemudian seorang perempuan berjilbab datang ditemani seorang lelaki, yang tak lain adalah ayahnya sendiri. Tatapannya menunduk. Sekilas, aku sempat melihat paras cantiknya dalam balutan jilbab.


Di sebuah lingkaran majelis yang memang telah disiapkan, disitulah kami sore itu berkumpul. Minggu kemarin, Ustadz Amar memang merencanakan satu proses yang akan menjadi masa bersejarah dalam perjalanan hidupku.


Ada perasaan yang entah yang mendera-dera. “Diakah calon istriku? Siapakah wanita yang ada di hadapanku ini?” Melihatnya saja aku baru kali ini? Ia masih tertunduk. Matanya tak berani menatap. Sempat ia menatap, tapi saat mata kami bertemu pandang, ia buru-buru menundukkan pandangan.


Beberapa hal tentang sosok yang ada di hadapanku ini memang telah aku dapatkan. Tetapi itu tak banyak, hanya pada tataran global. Informasi yang aku dapatkan, adalah dia seorang muslimah, salihah, siap menikah, yang bernama Maemunah. Biasa dipanggil Maya. Sudah hanya itu. Dan, inilah kesempatan yang diberikan kepadaku untuk mencari tahu semua dalam proses sederhana bernama ta’aruf.


“Baiklah bisa kita mulai?” ustadz Amar mengawali perbincangan.


“Siapa yang akan mengawali pertanyaan lebih dulu?” lanjutnya


“Dia dulu.” serempak aku dan Maya menjawab bersama-sama. Mata kami sempat saling pandang.
Begitu juga ustadz Amar dan juga ayah ibunya yang ketika itu ada dalam ruang itu. Mereka tersenyum. Masih ada kesan kaku di antara kami. Kami malu.


“Baiklah Ali, kamu duluan karena kamu yang akan memimpin bahtera rumah tangga nanti,” aku mengangguk. Sempat diam lumayan lama karena saking gugupnya. Sampai-sampai ustadz Amar memberi kode mengingatkan agar saya mulai memberikan pertanyaan.


Aku mengucap bismillah dengan nada sirri. Saat paling mendebarkan kini tengah mendera menderu-deru. Seperti ada gemuruh badai. Allah, bantu aku, kuatkanlah aku memperlancar proses ini. Mudahkanlah proses ini, doaku dalam hati meminta kemantapan langkah.


Dan pertanyaan pertama pun dimulai.


“Bagaimana Ukhti pertama kali mengenal Allah?”


Pertanyaanku berlangsung datar dan seketika. Sederhana, namun memerlukan jawaban yang mengena. Aku tahu tak mudah menjawab pertanyaan seperti itu. Tetapi Maya dengan lancarnya menjawab pertanyaanku.


“Bukankah semua orang mengenal Allah adalah ketika masih belum lahir di dunia? Bukankah sudah ada perjanjian antara seseorang yang akan dilahirkan ke dunia dengan Allah? Dan ketika manusia lahir, nama Allah pula yang didengar pertama kali? Sejak kecil saya sudah dikenalkan hijaiyah mulai dari Iqro sampai Alqur’an untuk mempermudah menyebut nama Nya, belajar mengaji, hingga saya diberi kemampuan untuk membaca tanda—tanda kebesaran Nya dari apa yang telah Allah ciptakan. Itulah pertama kali saya mengenal Allah.”


“Siapakah laki-laki yang ukhti cintai?”


“Rasulullah Shalallah’alaihiwassalam.


Aku membenarkan bangga, karena itulah jawaban yang aku inginkan.


“Apa yang ukhti pahami tentang taat kepada suami karena Allah Swt?”


“Taat pada suami berarti pula taat kepada Allah. Suami adalah pemimpin rumah tangga. Dan seorang pemimpin wajib hukumnya diikuti. Mengenai ini sudah secara tegas dinyatakan, Ati’ullah wa’atiurrasul wa ulil amri minkum. Taatilah Allah, taatilah Rasul, dan taatilah para pemimpin di antara kalian.’


“Pertanyaan lain ya?” Aku meminta Maya untuk beralih topik. Ia mengangguk membolehkan. Aku sudah mulai bisa sedikit mencairkan suasana karena sejak tadi pertanyaan yang muncul tak ubahnya seperti dosen penguji skripsi dalam sidang munaqasah.


“Bisa sebutkan satu persatu hargo sembako?”


Aku menangkap raut wajah terkejut. Tak menyangka akan mendapat pertanyaan semacam itu dariku. Seperti menganggap kalau pertanyaan dariku adalah pertanyaan konyol yang tidak begitu penting untuk ditanyakan. Tapi, bagiku ini penting dan harus diketahui oleh calon istri, karena itu bisa menjadi ukuran peka tidaknya seorang perempuan jaman sekarang yang terkadang menyepelekan. Setahuku ia selalu berkutat dengan buku-buku, mengajar, mengisi mentoring anak-anak SMA, mengisi seminar dan berbagai pelatihan. Akankah untuk hal yang sederhana ini ia lewatkan?


“Kok sembako?” katanya dengan nada sedikit memprotes.


“Iya. Memangnya kenapa?”


Akhirnya ia pun menjawab satu persatu harga sembako.


“Beras Rp.7000,-/kg. Minyak sayur Rp.14.000,- Telor, Rp.8.000,-/kg terigu Rp.6000,-/kg, Gula pasir Rp.8.500,-/kg, kalau gula merah Rp.8.000,- Cabe mulai kemarin menembus harga Rp.8.000/kg, begitu juga bawang merah”


“Baru delapan, kurang satu. Satunya lagi? Kan sembilan?”


Lumayan, pikirku, jawaban Maya tak meleset jauh dari apa yang disampaikan ibuku tadi sebelum berangkat. Ibuku sendiri sampai heran, mau melamar orang kok nanya-nanya harga sembako segala.


Maya sempat berpikir lama untuk mengingat-ingat nama sembako yang kesembilan.


“Oya, Elpiji tiga kilogram tiga belas ribu lima ratus!”


Dan kini giliran aku menjawab pertanyaan-pertanyaan Maya.


Assalamualaikum Akh? Siap menerima pertanyaan dari saya?”


Waalaikumsalam. Insya Allah siap.”


“Tolong ceritakan sedetil mungkin, bagaimana hubungan akh dengan Allah saat ini?”


“Aku merasa Allah tambah dekat. Bahkan aku merasa kalau kasih sayang Allah bertambah kepadaku. Buktinya, kemarin aku sakit, dan sempat dirawat beberapa hari di rumah sakit?”


“Apa hubungannya sakit dengan kasih sayang yang bertambah, akhi?”Langsung Maya memotong pembicaraanku yang belum selesai.


“Sabar ukhti, belum selesai aku menjelaskan. Tadikan mintanya sedetail mungkin. Iya, dengan sakit yang aku rasakan kemarin setidaknya menunjukkan kepadaku kalau Allah masih sayang. Tak cuma itu, bukti Allah sayang juga terlihat waktu aku tertidur setelah maghrib karena saking capeknya. Tengah malamnya, Allah membangunkanku, mengingatkanku, untuk shalat Isya. Ya sekalian saja aku manfaatkan untuk shalat malam. Saat sunyi itulah aku merasa benar-benar berkomunikasi dengan Nya. Ada ketenangan tak terkatakan. Ada satu keakraban yang begitu karib,” jelasku dengan menunjukkan pengalaman-pengalaman yang menurut pemahamanku menggambarkan kedekatanku dengan Sang Khalik.


“Dalam seminggu terakhir, berapa hari yang anda lewatkan tanpa bershadaqah atau berinfak untuk orang miskin dan sabilillah?” Pertanyaan kedua Maya terujar, masih dalam tataran normatif, sama seperti pertanyaan yang awal-awal aku ajukan.


“Sebisanya dan semampunya saya menyisihkan rezeki yang aku dapat untuk bersadaqah setiap hari. Hanya dua kemarin, saya urung memberi kepada salah seorang pengemis yang datang tiba-tiba karena agak kasar cara memintanya. Coba saja bayangkan, tanpa salam tanpa basa-basi langsung menabok pundak hingga membuat aku terkejut. Menyebalkannya lagi, dia malah biasa-biasa saja, sambil menengadahkan tangannya. ‘Minta uang! Saya orang kecil!’ pintanya memaksa. Cuma setelahnya, aku merasa menyesal sekali ketika itu kenapa aku tak memberinya saja. Mau aku kejar, orang itu malah nggak ada. Sudah pergi jauh. Nggak kelihatan. Barangkali begitulah cara Allah menguji ketulusan hati seseorang.”


Selesai menjawab, pertanyaan pun berlanjut.


“Saya mau buka rahasia,” kata Maya kepadaku terus terang. Seakan ingin membuka sesuatu yang selama ini hanya ia yang tahu. Sempat aku bertanya-tanya, rahasia apakah itu yang akan diceritakan Maya. Subhanallah, aku benar-benar melihat mata yang begitu teduh di wajah Maya. Wajah cerah air wudlu.


“Sebenarnya saya sudah memiliki seorang lelaki yang sangat saya cintai. Orangnya saleh, kalem, pintar, ganteng, dan sangat sopan. Hanya kepada dia saya memberikan cinta saya lebih daripada lelaki lain. Bersediakah anda mengijinkan saya melanjutkan cinta saya kepada lelaki ini, kalau anda menjadi suami saya?”


Aku kaget mendapat pertanyaan itu. Petir serasa menyambar. Perasaan mendadak hendak emosional. Hati yang tenang seperti musim semi menyejukkan seakan berubah menjadi badai di tengah gurun yang bergemuruh. Degup jantung hampir berhenti berdetak. Pikirku, berani sekali dia berbicara seperti itu Cemburukah aku? Bagaimana bisa ia membanding-bandingkan aku dengan lelaki lain? Pantaskah seorang akhwat melontarkan pertanyaan seperti itu?


“Apa maksud melontarkan pertanyaan seperti itu?” aku bertanya balik dengan nada agak emosional. Ingin sebenarnya aku mengendalikan diri dari sikap emosionalku yang mungkin mengganggu proses paling bersejarah ini


“Kurang jelaskah pertanyaan saya? Bersediakah akhi mengijinkan untuk melanjutkan cinta saya kepada lelaki itu, jika anda menjadi suami saya?” Maya bukannya menjelaskan, tapi malah menegaskan kembali pertanyaan itu.


Tak lama kemudian Maya menjawab, dengan kesan tenang. Tak ada tanda raut wajah yang menyimpan penyesalan. Sebaliknya wajahnya masih tetap kelihatan teduh.


“Lelaki itu adalah Muhammad Sallahualaihi wa salam!”


Aku malu. Diam-diam ternyata ia membalas pertanyaan sembako dengan pertanyaan yang sebenarnya telah aku tanyakan pada Maya. “Siapakah lelaki yang ukhti cintai?” Maya seakan berkata kepadaku ; satu sama!


“Bisa lanjut ke pertanyaan berikut?” Maya mengingatkan. Tadi aku sempat terdiam beberapa saat setelah mendapat jawaban yang mengejutkan.


“Setelah melakukan proses taaruf, apakah akh akan melanjutkan ke proses khitbah lalu nikah? Atau masih butuh waktu dan meminta saya menunggu, dengan alasan yang tidak syar’i dan terlalu duniawi.”


“Bagiku, menikah adalah satu proses yang perlu disegerakan. Segera. Bukan tergesa-gesa. Aku ingin menyegerakan nikah atas seijin Allah tentu saja,” jawabku padat langsung pada pokok persoalan.


“Baik. Kapan?” kata Maya.


“Tapi maaf, sebelum menjawab itu... boleh aku bertanya kepada Abi dan Umi?”


“Ya, tafadhol.” Maya mempersilahkan.


Dan kini perhatianku tertuju kepada orang tua Maya.


Abi..., Umi...Melalui kesempatan ini.. saya... ingin melamar Maya untuk menjadi istri saya. Berkenankah Abi dan Umi memberi restu?” ucapku agak terbata-bata. Abi dan Umi saling pandang. Tersenyum wajar melihat kegugupanku.


“Kamu sudah mantap dengan pilihanmu menikahi Maya?” ujar ayah Maya.


“Ya, Insya Allah saya sudah mantap.”


“Baiklah kalau sudah mantap. Menyegerakan pernikahan itu lebih baik.”


Mendengar jawaban langsung dari ayahnya, Maya salah tingkah. Mendadak wajah Maya bersemu merah. Seperti wajah Aisyah, yang oleh Rasulullah disapa Khumairah. Ia makin salah tingkah saat aku mengucapkan “Maya, maukah kau menikah denganku?” lafadzku mantap.



Tegal, 23 Desember 2009
Selesai menjelang pagi, dalam interval waktu 19.30 - 23.47

Kamis, 22 Oktober 2009

Dari Akhwat untuk Ikhwan

Aku ingin bicara atas nama Wanita, terlebih Akhwat (kalau boleh sih).Apa beda?,silahkan antum memaknainya..
Tolong untuk para Ikhwan (atau yg merasa sebagai Muslim) :

Wanita adalah makhluk yang sempit akal dan mudah terbawa emosi. Terlepas bahwa aku tidak suka pernyataan tersebut, but itu fakta. Sangat mudah membuat wanita bermimpi. Tolong, berhentilah memberi angan-angan kepada kami. Mungkin kami akan melengos kalau disapa. Atau membuang muka kalau dipuji. But, jujur saja, ada perasaan bangga. Bukan suka pada antum (mungkin) but suka karena diperhatikan "lebih".
Diantara kami, ada golongan Maryam yang pandai menjaga diri. Tetapi tidak semua kami mempunyai hati suci.
Jangan antum tawarkan sebuah ikatan bernama Ta'aruf bila antum benar-benar belum siap akan konsekuensinya. Sebuah ikatan ilegal yang bisa jadi berumur tak cuma dalam hitungan bulan tetapi menginjak usia tahun, tanpa kepastian kapan akan dilegalkan.

Tolong, pahami arti Cinta seperti pemahaman Umar Al Faruq.
Bukan mengajak kami ke bibir neraka. Dengan SMS-SMS mesra, telepon sayang, hadiah-hadiah ungkapan cinta dan kunjungan pemantapan yang dibungkus sebuah label : Ta'aruf.
Tolong, kami hanya ingin menjaga diri. Menjaga amal kami tetap tertuju pada-Nya. Karena janji Allah itu pasti. "Wanita baik hanya Diperuntukkan Laki-laki baik".

Jangan ajak mata kami berzina dengan memandangmu.
Jangan ajak telinga kami berzina dengan mendengar pujianmu.
Jangan ajak tangan kami berzina dengan menerima hadiah kasih sayangmu.
Jangan ajak kaki kami berzina dengan mendatangimu.
Jangan ajak hati kami berzina dengan berkhalwat denganmu.

Ada beda... Persahabatan sebagai saudara, dengan hati yang sudah terjangkiti virus...
Beda itu bernama "Rasa" dan "Pemaknaan".
Bukan, bukan seperti itu yang dicontohkan Rasulullah.
Antum memang bukan Mush'ab.
Antum juga tak sekualitas Yusuf As.
Tetapi Antum bukan Arjuna dan tak perlu berlagak seperti Casanova.
Karena Islam sudah punya jalan keluar yang indah : Segeralah Menikah atau Jauhi Wanita dengan Puasa.
Tolong, sebelum antum memutuskan untuk mendatangi kami jawab dulu Pertanyaan ini dengan Jujur :

1. Setelah 3 bulan antum mendatangi dan menyatakan Cinta, antum masih belum siap untuk mengikrarkan dalam sebuah Pernikahan ?
2. Ataukah antum masih butuh waktu lebih lama dan meminta kami menunggu, dengan alasan yang tidak syar'i dan terlalu duniawi ?

Kalau Jawabannya : "Ya !"
"SELAMAT"

Berarti antum lebih pantas masuk surga dibandingkan Ali bin Abi Thalib. Dia baru berani mengatakan Cinta kepada Fathimah, setelah menikah. Ali, pemuda kesayangan Rasul, tetapi menunggu waktu bertahun-tahun untuk mengatakannya. Bukan karena dia pengecut tentu saja justru karena dia adalah laki-laki kualitas Surga...

Tolong, kami tidak ingin menyakiti hati calon Suami kami yang sebenarnya. Mereka berusaha untuk menjaga Hijab, agar datang kepada kami dalam kondisi suci hati, tetapi kami malah menjajakan Cinta kepada laki-laki yang belum tentu menjadi suami kami. Atau antum sekarang sudah berani menjamin bahwa antum adalah calon Suami kami sebenarnya ?

Maaf, Wanita itu lemah dan mudah ditaklukkan. Sebagai Saudara kami Tolong Jaga kami. Karena kami akan Kuat menolak rayuan Preman, but bisa jadi kami Lemah dengan Surat Cinta kalian.

Bukankah akan lebih indah bila kita bertemu dengan jalan yang diberkahi-Nya ?
Bukankah lebih membahagiakan bila kita dipertemukan dalam kondisi diridhoi-Nya ?

Bukan cuma saat Menikah, tetapi saat pertemuan yang juga bebas dari maksiat. Allah Maha Pencemburu, dan Dia Maha Memiliki kami.
So,,, Mintalah kepada-Nya sebelum mendatangi kami

***dari sebuah milis ketika aktivis dakwah jatuh cinta




Selasa, 11 Agustus 2009

Sebuah Pesan yang Memunculkan Kesan


Sebuah kisah adalah kekuatan. Ia memiliki kekuatannya tersendiri. Lewat kata-kata, sebuah kisah dirangkai sehingga menjadi cerita. Kekuatan cerita itu mengabadi, dan tak lekang lelah waktu. Mengenai ini saya sadur bebas dari pepatah Yunani yang berbunyi, Scripta Manent Verba Volant. Yang tertulis akan mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin.

Kekuatan sebuah kisah sejatinya terletak pada cara menyampaikan, bertutur, berimajinasi dan kecermatan memilih diksi. Melalui proses menulis kreatif, akan mampu menghasilkan karya yang menggugah, menggerakkan, menggetarkan, dan sekaligus mendapat pencerahan. Cerita pendek adalah salah satu diantaranya. Dan pesannya adalah kekuatan itu sendiri. Pesan yang memunculkan kesan tersendiri bagi pembacanya.
Cerpen. Cerita Pendek. Agaknya inilah media yang dipilih oleh teman-teman FLP (Forum Lingkar Pena) Tegal dalam mengekspresikan kegundahannya yang telah menumpuk dan terlampiaskan dalam bentuk cerita pendek. Membacanya membawa kita mengembara pada alam imajinasi tanpa batas.

Cerpen memang bukan fakta, tapi biasanya ia berangkat dari realita. Ia bisa juga terlahir atas sebuah reaksi dari sebuah peristiwa-peristiwa. Apapun peristiwa itu, selama itu menyentuh nurani, maka oleh tangan-tangan kreatif, akan lahir sebuah karya.

Mengenai ini kita membaca cerpen karya Kelopakbiru yang ia beri judul ‘Piring.’ Sebuah kisah yang berawal dari hal sederhana namun bisa menjadi bacaan yang luar biasa dan berbobot! Kisah ini tentu tidak akan terlahir ketika tak pandai-pandai membidik angle yang biasanya luput dari incaran penulis. Apalah arti sebuah piring? Bukankah yang lebih penting adalah isinya? Mungkin gambaran itulah yang kerapkali terlintas dalam benak kita. Tetapi begitulah. Kelopakbiru dengan segenap keluwesan bahasanya memiliki daya magis tersendiri. Dan tentu saja itu akan terasa setelah setelah kita menyelami kata-katanya.

Mengenai angle, kita juga bisa belajar dari ‘Suara Adzan Di Jantung Muadzin’ yang ditulis Kaisar. Ini mengingatkan kita, betapa seorang muadzin sejatinya adalah tugas mulia. Satu kemuliaan yang hanya bisa dilihat oleh orang-orang yang bergetar manakala mendengar suara adzan.” Mendengar saja membuat hati saya bergetar, apalagi kalau melantunkan,” begitu kata sang muadzin yang dalam kisah itu bernama Wak Sur.
Tahukah kamu, sedemikian mulia dan ikhlasnya melantunkan adzan mengingatkan orang-orang kepada Tuhan, di jantung muadzin pun terdengar suara adzan meski jasadnya telah terpisah dari raga.

Harapan, cita-cita, keinginan dan juga mimpi bisa terwujud lewat kata-kata. Namun, ketika itu belum tercapai sekarang, setidaknya mereka-mereka yang telah menuliskan apa yang diimpikannya telah melangkah ke depan untuk meraih mimpi itu. Dan, tentu itu akan terjadi selama dalam proses perjalanan meraih mimpi tetap dibarengi dengan upaya melatih kemampuan diri ke arah itu. ‘Bukan Mimpi yang Terpenggal’, ‘Bawang untuk Gaza’, dan ‘Kado untuk Istriku’ adalah gambaran tentang mimpi-mimpi dan harapan-harapan itu. Kisah-kisah lain yang terangkum dalam antologi cerita pendek ini juga tak kalah menarik untuk dibaca. Selamat membaca!






Membudayakan Aktivitas Literat


Buku, dalam pengertian saya ketika masih di bangku sekolah dasar, adalah kumpulan kertas bergaris yang dijadikan tempat untuk menulis dengan pensil. Tetapi tidak untuk kini, pengertian buku yang saya dapat justru berbeda jauh dengan pengertian buku ketika saya masih kecil. Pengertian buku yang saya maksud lebih mengarah pada bacaan, dan bukan kertas bergaris. Ia adalah lembaran-lembaran kertas berisi kumpulan gagasan penulis yang terangkum. Dahsyatnya sebuah buku lebih mengarah kepada bagaimana ide itu berbicara dan memengaruhi pembaca. Di dalamnya terdapat proses kreatif, karena sebuah buku mampu mengondisikan para pembaca untuk terus berolah pikir. Alasan kenapa buku itu berpengaruh, karena apa-apa yang tertulis di dalamnya secara intelektual dapat dipertanggungjawabkan.

Kalam Jauhari dalam esainya, “Berguru pada Buku,” menyatakan, dengan cara sedemikian rupa, buku memang bisa memengaruhi dan mengajarkan banyak hal kepada pembaca. Masih menurut Kalam, buku memiliki setidaknya tiga efek konstruktif. Ketiga efek konstruktif diantarannya adalah buku dapat menjadi guru bagi pembentukan identitas sosial (atau perseorangan), bagi pembentukan relasi sosial dan bagi pembentukan sistem-sistem pengetahuan dan kepercayaan sosial atau dalam istilah lain disebut dengan ideasional.

Membaca adalah salah satu bentuk interaksi intelektual yang tak jauh dengan buku. Yaitu interaksi yang bisa dikontrol penuh pembaca. Bisa menutup jika merasa kantuk atau bosan, melompati halaman atau kalau penasaran mengintip halaman akhir buku. Tak hanya itu, satu kelebihan aktivitas literat adalah kita bisa menunda proses membaca, menyimpan kenikmatan itu di lain waktu atau langsung melahapnya sampai habis. Dan pada saat-saat itulah muncul peluang mengolah isi bacaan. Itu adalah hal yang sangat berbeda seperti kita menonton film yang menyajikan pengalaman estetis. Penonton, seperti halnya pembaca dalam aktivitas literat, tidak bisa menunda klimaks kecuali menyaksikan tontonan yang sedang berjalan hingga usai.

Sebuah bacaan, bisa bersifat aditif. Artinya seseorang bisa merasakan keranjingan baca, atau yang biasa disebut dengan bookish (kutu buku). Baginya dunia seolah-olah belum lengkap kalau belum menyentuh dan membaca bacaan. Keasyikan membaca buku, seperti yang dilansirkan oleh Roland Barthes pemikir Prancis, dibangkitkan dari kemampuan teks merangsang kreativitas pembacanya untuk menciptakan teks-teks baru di kepalanya, termasuk ketika ia membayangkan, menafsirkan atau mengisi apa yang tidak tertulis di situ.

Selesai membaca, meminjam ungkapan Budi Darma, tidak berarti selesai segalanya. Tapi justru merupakan awal dari pengembaraan pikiran, perasaan dan naluri pembaca lantaran berbagai bacaan yang memukau akan meninggalkan kesan yang sukar terlupakan. Pengembaraan yang ditawarkan oleh bacaan yang inilah yang kemudian dapat menambah wawasan.
Ketika membaca sudah menjadi kebutuhan, maka tak ada cara lain selain menuangkan segala bentuk pengetahuan yang selama ini mengendap untuk ditorehkan ke dalam satu bentuk aktivitas yang tidak jauh berbeda dari dunia intelektual yaitu menulis. Menulis sebagai salah satu bentuk ketrampilan berbahasa dinilai ampuh untuk mengabadikan suatu pemikiran. Tulisan-tulisan yang bernuansa intelektual biasanya menggabungkan gagasan-gagasan untuk kemudian membentuk satu gagasan baru.

Seperti dalam pepatah Yunani menyatakan bahwa yang tertulis akan mengabadi dan yang terucap akan berlalu bersama angin (scripta manent verba Volant). Pepatah ini setidaknya mengingatkan kepada kita akan dua aktivitas kebahasaan: menulis dan berbicara. Apa yang tertulis tidak akan mudah sirna ketika aktivitas kebacaan secara kontinyu dibudayakan, dan itu akan membekas dalam ingatan, kecuali kalau daya ingatnya berkhianat.

Istilah mengabadi di sini tidak lantas menafikan bahasa ucap, hanya saja nilai ‘mengabadi’ itu terbantu karena memang tersurat pada buku. Sehingga kemungkinan untuk lupa dapat dengan mudah dikembalikan seperti pada mulanya yaitu dengan membaca kembali lembaran-lembaran yang sudah lama mengendap dalam ingatan. Berbeda dengan bahasa ucap, yang mengandalkan kemampuan daya ingat untuk mengingat apa-apa yang terucap. Pernyataan itu sempat disuarakan Pramoedya Ananta Toer yang menyatakan bahwa bahasa lisan biasanya hilang bersama lenyapnya per generasi dari masyarkat, tetapi tidak untuk bahasa tulis.

Memang ada sebagian orang bisa mengingat dengan baik apa yang diucapkan oleh seseorang, tetapi cakupannya terbatas, yakni sebatas pada ucapan-ucapan penting yang singkat, dan biasanya berupa nasehat. Tetapi tetap saja ketika itu tidak ditulis, suatu saat nanti akan pudar, karena sewaktu-waktu, daya ingat juga bisa berkhianat.

Apa yang terucap, apalagi ketika disampaikan dengan gaya bicara memukau, mungkin lebih mudah diingat seketika itu. tetapi beberapa saat setelah itu tidak terekam sempurna apa yang barusan terucap, dan hal itu tidak terjadi pada aktivitas tulis. Kecuali tulisan itu koyak, tidak terawat, dan sedikit kemungkinan hal itu terjadi. Pada dasarnya keberadaan buku itu benar-benar dihargai, karena didalamnya tertulis berbagai macam gagasan-gagasan intelektual yang dapat dijadikan sebagai bahan referensial ketika menulis, bahkan berbicara.

Setara dengan pepatah itu Danil Dakidae dalam bukunya “Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru” menuliskan bahwa setiap buku dari pengarang manapun yang pernah melihat terbit dan terbenamnya matahari, tidak lain merupakan kata pengantar kepada buku lain lagi kelak dikemudian hari, yang jauh lebih penting.

Dahsyatnya Sebuah Bacaan

Masih ingat cerita, bagaimana Pramoedya Ananta Toer menulis dan menjadikannya tulisan itu sebagai bacaan. Dengan bahasa khas yang garang dan meledak-ledak, tidak bertele-tele, ia menulis banyak hal yang menurutnya tidak beres dan perlu diluruskan. Ia menulis apa saja yang perlu ia tulis. Karena ia memiliki prinsip, “Semua itu harus ditulis. Apa pun…Jangan takut tidak dibaca atau tidak diterima penerbit. Yang penting tulis, tulis, tulis dan tulis. Suatu saat pasti berguna.”

Karena prinsip Pram tersebut, sampai-sampai sudah tak terhitung karya-karya yang ia hasilkan dari olah pikir Pram menuliskan realita yang ada. Karena saking garang, berani dan meledak-ledaknya, ada banyak karya Pram yang ditolak penerbit karena cukup beresiko, tentu saja menurut ukuran pemerintah kolonial pada masa itu. Bahkan karya-karya yang sudah terbit pun ditarik dari edaran oleh pemerintah kolonial masa itu.

Ketika ia berada dalam kungkungan sel, Pram justru produktif. Pram bebas menulis. Hanya saja ia dilarang mengedarkannya di luar kamp, bahkan orang-orang yang berhubungan dengan dunia tulis menulis pun dilarang menemuinya. Tetapi ia tak kehabisan akal, Pram menyelundupkan naskah-naskahnya kepada setiap orang yang mengunjunginya untuk dikirimkan kepada penerbit. Tentu saja hal itu sangat beresiko.

Penarikan naskah-naskah Pram pada masa itu setidaknya menggambarkan betapa dahsyatnya bacaan. Mungkin pemerintah kolonial masa itu merasa dalam keadaan bahaya ketika naskah yang mencatat segala kebobrokan akan dengan mudah terbongkar khalayak hanya dengan melalui bacaan. Dalam situasi seperti itu lah sebuah tulisan berfungsi sebagai pisau pembedah sesuatu yang sudah lama susah untuk disayat hingga isi yang ada didalamnya dapat dikeluarkan. Dapat dilihat dan dinilai khalayak apakah selama ini apa yang dilakukan itu adalah pantas dan memang perlu dilakukan, atau malah sebaliknya. Lebih tepatnya buku itu memfungsikan diri dengan memberi pengaruh dan membentuk ide bagi para pembacanya.

Ketakutan pihak yang meminta untuk menarik buku dari edaran tidak karena ‘senjata’ yang Pram bawa, melainkan karena mereka percaya bahwa sebuah bacaan tertentu tidak akan pernah kekurangan para pengagum pemilik gagasan yang siap menjadi pelopor karya-karyanya kelak.

Apa yang menjadi prinsip Pram dalam menulis, mengingatkan saya pada Ime Kertesz, sastrawan yang memuja kebebasan berekspresi dan sangat antipati pada sastra yang ditunggangi oleh muatan-muatan politis dari luar keindahan sastra itu sendiri. Kertesz berkata bahwa ia menulis untuk dirinya sendiri dan tanpa pretensi apa-apa untuk dibaca atau memengaruhi orang lain. Kertesz beranggapan bahwa pada akhirnya nanti penulis akan melihat dirinya sendiri, dan sehingga ia nanti akan menulis untuk dirinya sendiri.

Kedahsyatan lain sebuah bacaan adalah bagaimana bacaan itu membentuk pola budaya perilaku, mulai dari tingkah juga cara bertutur. Meminjam istilah Sutarji Calzoem Bahri, bahwa membaca (sastra) juga membuat orang menjadi berbudaya. “Orang berbudaya baca sastra” adalah semboyan yang tertulis pada majalah sastra Horison. Saya sepakat bahwa aktivitas literat itu perlu dan harus dibudayakan dan diberdayakan. Ini bias dilakukan dengan membuat komunitas-komunitas penulis, mendirikan rumah baca, atau perpustakaan.
Ada satu ungkapan lain yang menuliskan bahwa bangsa yang besar terlahir dari tradisi membaca yang kuat. Kebesaran bangsa-bangsa itu, kalau ditelaah lebih jauh adalah bisa menjadi maju ‘hanya’ karena menanamkan aktivitas kebacaan yang ketat. Membaca memang perkara ringan-ringan susah. Tetapi bukan alasan untuk tidak membaca ketika malas sudah bergelayut. Seandainya saja, malas dapat dihapuskan mungkin tak akan ada banyak bangsa yang ketinggalan.

Sejarah telah membuktikan bahwa tradisi membaca yang baik telah melahirkan peradaban emas sepanjang masa. Hal ini sangat penting bagi siapapun yang berusaha mempelajari realitas semesta. Beberapa alasan untuk menguatkan pernyataan segala peradaban pada masa lampau semuanya dimulai dari tradisi membaca yang kuat. Ter gambarkan seperti pada peradaban Yunani yang dimulai dengan Iliad yang ditulis oleh Homer. Karya Newton yang membangkitkan peradaban Eropa. Pun halnya dengan peradaban Islam yang bangkit setelah turun wahyu kepada Muhammad, sang nabi terakhir.

Tak usah jauh-jauh untuk menggambarkan bagaimana dahsyatnya sebuah bacaan. Dalam keseharian saja bisa terlihat siapa-siapa saja yang suka baca dan tidak sama sekali. Perbedaan keduanya akan terlihat jelas. Orang yang biasa membaca, akan begitu mudahnya berbicara, karena perbendaharaan katanya begitu banyak. Tentu isi bicara yang berbobot, yang mungkin dapat dijadikan sebagai bahan referensi. Apa yang terujar biasanya berdasar dan dapat dipertanggungjawabkan. Bagi orang yang tidak suka baca, orang tersebut akan begitu susahnya untuk bersuara, kalaupun berbicara, apa yang terucap biasanya bukan hal baru yang semua orang sudah tahu.

Kita bisa banyak belajar dari banyak orang, atau bahkan dari buku itu sendiri. Perlu diketahui bahwa buku adalah guru yang baik dan tak pernah marah. Guru yang berbeda dalam pengertian konvensional yang dapat diajak bicara ketika mengalami kesulitan. Ketika seseorang berhadapan dengan bacaan, ia tak mempunyai privilege untuk menanyakan kepada pengarangnya. Karena tak semua orang kenal dengan pengarangnya. Kalau pun ada upaya kearah itu, diperlukan usaha keras otak untuk menjawab pertanyaan yang masih mengendap ketika telah usai membaca buku tersebut. Dari situ lah proses kreatif muncul.

Sebagai pungkasan dalam tulisan ini, saya hanya akan menegaskan kembali betapa pentingnya membudayakan aktifitas literat, yaitu aktifitas yang menggeluti dunia kebacaan. Seperti apa yang dikatakan Che Guevara. “Sempatkan waktu luang untuk baca.” Sampai-sampai Pablo Neruda yang mengenal Che secara pribadi merasa terharu, karena ketika Che ditangkap di hutan Bolivia dalam ranselnya ditemukan kumpulan puisi Neruda. Di sela-sela masa gerilnya, masih saja ia menyempatkan untuk membaca.[]










Rabu, 08 Juli 2009

"Sepertinya Hubungan ini Mesti Kita Akhiri..."


Kemesraan itu sepertinya terlalu dini untuk dirasakan. Kemesraan itu tak semestinya kita jadikan sebagai sapaan. Kau sapa aku dengan sapaan sayang, begitu pula sebaliknya aku menyapamu dengan sapaan sayang.

“Sayang...,” begitu kita pernah saling menyapa. Mari, mulai detik ini ungkapan perasaan sayang itu cukuplah kita simpan saja untuk nanti ketika kita telah melewati mitzaqan ghalidzan. Bukankah itu jauh lebih mulia ketika diungkapkan kelak kepada pendamping hidup kita. Kalau memang itu kamu yang akan menjadi istriku, dan aku yang akan menjadi suamimu, ya mari kita simpan untuk nanti pada masanya.

Lewat kesempatan ini, aku hanya ingin berpesan, jangan pernah merasa kalau aku melupakanmu karena akhir-akhir ini aku jadi jarang menyapamu. Jangan pernah merasa aku mengabaikanmu karena kini aku jarang mengucapkan selamat pagi, ketika matahari beranjak meninggi. Jangan pernah merasa kalau akhir-akhir ini aku jadi jarang mengucapkan apa kabar setelah menyapa “Selamat pagi, cerahkah kau pagi ini?”
Justru karena aku menyayangimulah aku melakukan ini.

Kamu tahu kenapa? Sebab aku menghormatimu sebagai perempuan. Sebab perempuan itu mulia, dan tak ada alasan bagiku untuk membuatnya jadi sebaliknya. Kita perlu hati-hati membawa hati. Hati, meski letaknya tersembunyi, tapi dampaknya tampak sekali, begitu kata Mohammad Faudzil Adzim.

Kau tentu ingat, bagaimana kita saling tatap. Pada tatapan mata itu ternyata menyimpan seribu keinginan saat-saat tak terbayangkan. Pada mulanya adalah tatapan. Matamu itu, mata perempuan. Dan aku mata lelaki. Mata kita sudah semestinya menundukkan pandangan. Tetapi kenapa kita malah saling tatap? Terkadang kau menatap mataku tanpa sepengetahuanku, begitu pula aku menatapmu tanpa sepengetahuanmu. Dan kau benar-benar meresapi benar tatapanmu melihat mataku ketika melihat mataku pada sebuah lembar foto. Bahkan kau sampai pernah bilang, “Tatapan mata itu... tak mungkin aku melupakan...” Subhanallah! Sudah begitu jauhkah kita melangkah.
Kau tentu ingat, ketika tangan kita bersentuhan yang terkesan tak disengaja namun kita pura-pura tak tahu kalau sebenarnya kulit kita bersentuhan. Dan, ketika kita sadar, kita buru-buru melepaskan genggaman masing-masing.

Kau tahu apa yang aku rasa sebenarnya ketika itu? Aku seperti tengah menggenggam bara api! Ya bara api yang seolah ditempelkan menggunakan perekat yang begitu erat sampai-sampai aku tak mampu melepasnya. Hendak berontak tapi tak kuasa. Mengingat peristiwa ini, aku jadi malu lantaran teringat pada suatu riwayat seorang ulama yang mengisahkan kalau dirinya lebih baik menggenggam bara api daripada harus bersentuhan dengan perempuan yang bukan muhrim!

Kau tentu juga ingat, ketika kita begitu dekat, kau selalu tak pernah lupa untuk mengingatkan aku untuk shalat. Di sepertiga malam kau tak pernah absen membangunkanku untuk menunaikan tahajud melalui nada panggilan tak terjawab dan disusul pesan singkat, “Ka bangun... tahajud ka...” Memastikan apakah aku sudah bangun atau belum, kamu menyusulnya dengan menelepon di pagi sebelum cahaya. Masih dengan perkataan yang sama. Suara khas orang yang baru terbangun dari tidur. “Ka bangun...tahajud ka....”

Bahkan kita pernah berlomba, siapa membangunkan lebih dulu untuk shalat tahajud maka kita membuat kesepakatan agar yang telat bangun diberi tugas membuat cerpen dengan tokohnya adalah kita sendiri. Lihat! Bahkan kita ingin mengabadikannya lewat tulisan, padahal belum tentu apakah perasaan sayang kita abadi ataukah hanya nisbi?
Sepintas apa yang kita lakukan -mulai dari mengingatkan shalat, saling memacu untuk berkreasi pada aktivitas literat- itu mulia. Tetapi tidakkah kau pernah merasa atau memikirkan hal lain yang jauh dari kelihatannya mulia? Aku merasa bahwa giatnya kita shalat tepat waktu itu lantaran karenamu, bukan karena Allah. Pernahkah kau memikirkan kalau shalat tahajud yang aku dirikan itu karena dibangunkan olehmu, dan bukan karena Allah. Pernahkah kau berpikir, kalau aktivitas menulisku itu semata-mata hanya karenamu yang begitu banyak memberikan inspirasi dalam menulis, dan bukan karena Allah yang telah memberi karunia kepadaku bisa menulis melalui kekuatan Al Qalam_Nya.

Dan kalau memang demikian begitu aku sama saja telah melupakan Allah!
Naudzubillahmindzalik, Ukhti....
Kita tidak semestinya terjebak dalam lingkaran ini. Kalau pun memang sudah terjerambab tak ada cara lain selain mengakhiri hubungan ini. Saya pikir ini adalah jalan terbaik, agar kita tidak terlampau jauh melangkah tanpa menapaki lebih dulu mitzaqan ghalidzan. Saya pikir ini adalah cara terbaik, ketika seribu satu cara lain yang telah saya pikirkan tapi tak jua bertemu jawab yang pas di hati. Ya, kalau memang ingin melanjutkan kemesraan itu, tak ada cara lain selain dengan mengakhiri hubungan ini.

Bagaimana? Apakah kau setuju untuk mengakhiri hubungan ini? Ya, mengakhiri saja hubungan ini dengan satu kata: pernikahan! Sebab dengan begitu, kita lebih aman dari tatapan mata dan juga kata yang bermuara fitnah. Sebab dengan begitu kita lebih terjaga. Sebab itu, aku mengajakmu menikah. Sebab menikah akan menjadikan kita mulia.
Ya, menikah! Menikah adalah satu urusan yang perlu disegerakan, begitu Islam mengajarkan. Menyegerakan menikah tidak sama berarti tergesa-gesa untuk menikah. Untuk masalah ini, sudah disampaikan dengan amat baik oleh Mohammad Faudzil Adzim dalam buku yang menginspirasiku untuk sesegera mungkin menyegerakan menikah. Buku itu tak lain berjudul Kupinang Engkau dengan Hamdallah.

Melalui kesempatan ini pula, aku ingin meminangmu. Kalau kau menerimaku, aku ucapkan alhamdulillah, tapi kalau kau menolakku aku lantangkan Allahu Akbar! Sebab pangkal dari semua itu adalah tidak lain hanyalah ridla Allah Swt. Not more! Sebab dengan begitu aku masih bisa tersenyum. Sebab aku ingin selekasnya melewati masa-masa yang dalam AlQur’an disebut sebagai mitzaqan ghalidzan, perjanjian yang berat. Sebab aku tak ingin mati dalam keadaan bujang. Sebab aku ingin pula memberikan sumbangsih sesegera mungkin untuk bisa menambah bobot bumi dengan kalimat Laa Ilaaha ILLallah!. Sebab aku tahu, bahwa melaksanakan ibadah nikah itu tidak hanya denganmu. Sebab aku tahu, bahwa muslimah itu tak hanya kamu.







Kemarin Ada yang Mengajakku Menikah...


“Kemarin ada yang mengajakku menikah, apa kau merasa baik-baik saja. Atau kau merasa tidak ada apa-apa karena waktumu untuk kegiatanmu.”

Satu pesan singkat masuk saat aku tengah mengikuti hari pertamaku di sebuah tempat mulia yang memberiku amanah untuk menjadi salah satu tim untuk menyiapkan peradaban. Ya, begitulah mereka mendefinisikan satu kata: mengajar dengan deretan kata memanjang. Menjadi salah satu tim yang bertugas untuk mencetak generasi penerus peradaban.

Pesan itu datang menyentakkan lantaran tak terduga datang tiba-tiba.
Pesan itu datang mengagetkan namun tak mengejutkan.
Semua lantaran aku memiliki jawaban untuk pertanyaan itu.

Kawan, mungkin belum saatnya kau tahu siapa yang mengirim pesan singkat itu kepadaku. Tetapi yang jelas yang mengirimi saya pesan singkat semacam itu tentu menyimpan maksud dan tujuan tertentu. Apa dan maksud tujuan itu, kawan tak perlu menebak-nebak pula.

Tak perlu waktu lama untuk menjawab pertanyaan itu. Begini aku langsung menjawabnya...

“Kalau dia baik agamanya, baik akhlaknya, dan kau merasa nyaman dengannya, menikahlah.”

Tapi... jawaban yang aku peroleh menegaskan kalau ia sebenarnya tak suka dengan jawaban yang aku beri. Padahal, saya meyakini itulah jawaban terbaik yang saya punya. Memang ada segudang hadits yang bisa menjawab pertanyaan semacam itu. Tetapi saya bukan tipe orang normatif yang selalu menuliskan seabrek referensi secara utuh. Bagi saya, ketika intisari sudah mengena dan sadar kalau itu berkenaan dengan satu landasan tertentu, dan tepat cara menyampaikannya itu baru luar biasa menurut saya.
Kawan, kau ingin tahu, jawaban apa yang ia berikan kepadaku...
“Menyakitkan! Terimakasih. Aku tak menyukainya. Aku sayang pada seseorang...Hanya ia yang aku inginkan.”

“Kalau begitu jangan terima ajakannya. Menikah memang harus ada juga landasan suka. Dan itu jauh lebih mulia kalau landasan utamanya karena agama,” begitulah jawaban yang aku lontarkan lagi kepadanya dengan alasan seorang perempuan juga berhak untuk menerima atau menolak ajakan seseorang untuk menikah. Kemungkinan itu menempati porsi yang sama besarnya. Dan setelah itu ia tak membalasnya lagi.

Jika hari di pagi itu saya dimintai pendapat seseorang yang diajak menikah. Maka pada malam harinya saya yang malah ditawarin untuk menikah. Ada seorang akhwat menawarkan akhwat lain untuk diperkenalkan. Kawan, perlu diingat, ajakannya ini tidaklah main-main. Pengertian kenal di sini yang dimaksud bukanlah kenal biasa. Melainkan satu proses awal sebelum menuju proses khitbah menuju nikah.

Berdesir bukan main hati saya ketika mendapat tawaran...“Assalamualaikum. Mas Ali, afwan mau tanya. Mohon jangan tersinggung. Begini, saya punya teman akhwat. Beliau sudah bekerja dan sedang menyelesaikan tugas akhir. Beliau siap menikah. Antum mau tidak saya perkenalkan dengan beliau? Afwan jika lancang.W3”

Inikah kedahsyatan berpikir affirmatif? Saya memang termasuk –lebih lengkapnya menggelompokkan diri- ke dalam orang-orang yang ingin menyegerakan menikah. Tetapi tidakkah ini terlalu dini?

Teman, sungguh, saya tak mampu menjawab ajakan itu.
Entah kapan saya bisa menjawabnya.
Entah kapan kawan.







Sabtu, 13 Juni 2009

Hati-hati Bawa Hati


“Susahnya punya hati. Letaknya tersembunyi, tapi geraknya tampak sekali.”
Begitu kata Mohammad Faudzil Adzim mengawali pembahasan Kupinang Engkau dengan Hamdallah.

Saya jadi merasa tersindir, dan bahkan amat tersindir mengingat saya belum memiliki istri, eh, maksudnya belum sepenuhnya bisa menjaga hati. Sejauh ini hanya baru sebatas usaha untuk sebisanya, semampunya bisa menjaga hati dari sesuatu yang bisa menciderai hati selama masih sendiri. Adapun ketika hati ternoda oleh cela, itu tak lain karena lemahnya hati yang saya miliki.

Ighfirni Yaa Ghaffar. Semoga saya, anda, kita semua termasuk ke dalam orang-orang yang terjaga.

“Makanya, lebih baik punya istri. Kalau tersenyum ada yang menanggapi. Kalau berekspresi ada yang memahami. Sikapnya lembut tak bikin keki kadang malah memuji.

“Tuhan tak pernah ingkar janji, kalau terus menjaga diri, akan mendapat pendamping yang lurus hati.”

Mendengar kata-kata ini saya lebih tersindir lagi. Pikir saya pintar benar sosok yang satu ini menyindir. Tetapi memang benar demikian adanya. Ketika kita saya belum punya istri, (eh salah lagi, maksudnya belum bisa menjaga diri), ya memang mungkin sudah sebaiknya memiliki istri yang bisa menanggapi senyum, menanggapi ekspresi, yang memiliki kelembutan dan... lho kok malah jadi membicarakan istri ya, bukannya hati. Tapi yang jelas, sejauh ini pula saya terus menjaga diri sampai diri ini mendapat pendamping yang lurus hati lantaran masih sendiri.

Eh,belum lama bilang masih sendiri, Bang Faudzil ngeledek lagi,

“Tapi kalau masih sendiri, hati-hati bawa hati. Kalau sibuk mencari perhatian, kapan kamu mengenal gadis yang bisa menjaga pandangan?

Bagusnya sibuk menyiapkan perbekalan, (maunya sih kukatakan memperbaiki iman). Tanpa susah-susah membayangkan saat-saat tak tebayangkan.”

Tak berdaya aku dibuatnya. Sindirannya luar biasa lantaran membuat aku tak berdaya menjawabnya. Belum sempat saya mengomentari, eh, ia malah melepaskan serangan kata yang datang bertubi-tubi.

“Adapun kalau sudah beristri, jangan lupa mengingatkan. Kalau ada yang dilalaikan
tentang perkara yang disyariatkan. Tapi kalau ia memelihara kewajiban, ingat-ingatlah untuk memberi perhatian. Jangan sampai menunggu peringatan.”

Pebincanganku dengan Mohamad Faudzil Adzim mengingatkan saya pada peristiwa yang maksudnya lebih kurang senada. Ketika itu, saya terus mendapat cecaran pertanyaan yang bernada menyindir, namun dikemas dalam bentuk kelakar.

“Akhi, antum itu sudah terlalu banyak aminah, tetapi tidak satu Aminah pun kau miliki,”

“Maisyah sudah ada, kapan akan punya Aisyah, Akhi?

Sedemikian dahsyatnya sindiran yang nyaris datang bertubi-tubi, sampai peristiwa itu terbawa mimpi.

Suatu ketika di malam yang tenang, aku tertidur setelah merenungi berbagai macam sindiran yang sedianya memang diarahkan kepadaku. Setelah beberapa kejap tidur, suasana membawaku ke alam bawah sadar. Entah kenapa tahu-tahu saya berada pada suatu tempat, yang hanya ada saya seorang diri, dan tak ada siapapun. Aku melihat di sekelilingku, bentangan luas tak terhingga seperti awan.

Dalam suasana seperti itu, tiba-tiba ada satu titik yang mendekat ke arahku. Semakin dekat, semakin tampak jelas rupanya. Sosok yang datang itu bersayap seperti malaikat. Dan itu memang malaikat ketika ia memperkenalkan dari,”Aku malaikat datang dari surga membawa bidadari.”

Sosok malaikat itu datang tak sendiri melainkan berdua dengan seseorang yang dilihat dari penampilannya adalah seorang perempuan. Saya tak bisa melihat wajahnya lantaran tertutup burkah. Kepalanya menundukkan pandangan. Sekilas tampak ia menatapku dibalik cadarnya, hanya ketika saya balik menatapnya, ia buru-buru menundukkan pandangan. Mungkin malu.

“Wahai Ali, ini saya bawakan calon istrimu! Menikahlah dengannya, dan perbanyaklah keturunan agar bisa menambah bobot bumi dengan kalimat LAAILLAAHAILLALLAH.”

Saya terperangah mendengar itu. Sosok perempuan bercadar itu masih tertunduk malu. Merasa penasaran, saya pun menanyakan siapakah sebenarnya yang akan menjadi istriku nanti. Saya penasaran dengan sosok yang katanya adalah calon istriku itu. Bidadari Syurga. Bidadari yang didatangkan langsung bersama malaikat dari syurga. Bidadari yang datang dari syurga. Ah, siapakah ia?

Permintaan pun terturutkan. Malaikat itu membukakan cadar penutup wajah. Hati saya berdesir-desir. Degup jantung naik turun lantaran dibombardir rasa penasaran yang begitu hebat. Secara perlahan cadar itu dibuka. Gerakan membuka cadar tampak sekali hati-hati, pelan, pelan sekali seperti gerak slow motion dalam adegan film.

Dan ketika cadar itu hampir tersingkap...

Sungguh teramat sangat saya sayangkan...

Saya terbangun!

Sebel!